TUJUAN pendidikan menengah acap kali dibiaskan oleh pandangan umum;
demi mutu keberhasilanakademis seperti persentase lulusan, tingginya
nilai Ujian Nasional, atau persentase kelanjutan ke perguruan tinggi
negeri. Kenyataan ini sulit dimungkiri, karena secara sekilas tujuan
kurikulum menekankan penyiapan peserta didik (sekolah menengah umum/SMU)
untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi atau penyiapan
peserta didik (sekolah menengah kejuruan/SMK) agar sanggup memasuki
dunia kerja. Penyiapan peserta didik demi melanjutkan ke pendidikan yang
lebih tinggi akan melulu memperhatikan sisi materi pelajaran, agar para
lulusannya dapat lolos tes masuk perguruan tinggi. Akibatnya, proses
pendidikan di jenjang sekolah menengah akan kehilangan bobot dalam
proses pembentukan pribadi. Betapa pembentukan
pribadi, pendampingan pribadi, pengasahan nilai-nilai kehidupan (values)
dan pemeliharaan kepribadian siswa (cura personalis) terabaikan.
Situasi demikian diperparah oleh kerancuan peran di setiap sekolah.
Peran konselor dengan lembaga bimbingan konseling (BK) direduksi sekadar
sebagai polisi sekolah. Bimbingan konseling yang sebenarnya paling
potensial menggarap pemeliharaan pribadi-pribadi, ditempatkan dalam
konteks tindakan-tindakan yang menyangkut disipliner siswa. Memanggil,
memarahi, menghukum adalah proses klasik yang menjadi label BK di banyak
sekolah. Dengan kata lain, BK diposisikan sebagai “musuh” bagi siswa
bermasalah atau nakal.
Penulis merujuk pada rumusan Winkel untuk menunjukkan hakikat bimbingan
konseling di sekolah yang dapat mendampingi siswa dalam beberapa hal.
Pertama, dalam perkembangan belajar di sekolah (perkembangan akademis).
Kedua, mengenal diri sendiri dan mengerti kemungkinan-kemungkinan yang
terbuka bagi mereka, sekarang maupun kelak. Ketiga, menentukan cita-cita
dan tujuan dalam hidupnya, serta menyusun rencana yang tepat untuk
mencapai tujuan-tujuan itu. Keempat, mengatasi masalah pribadi yang
mengganggu belajar di sekolah dan terlalu mempersukar hubungan dengan
orang lain, atau yang mengaburkan cita-cita hidup. Empat peran di atas
dapat efektif, jika BK didukung oleh mekanisme struktural di suatu
sekolah.
Proses cura personalis di sekolah dapat dimulai dengan menegaskan
pemilahan peran yang saling berkomplemen. Bimbingan konseling dengan
para konselornya disandingkan dengan bagian kesiswaan. Wakil kepala
sekolah bagian kesiswaan dihadirkan untuk mengambil peran disipliner dan
hal-hal yang berkait dengan ketertiban serta penegakan tata tertib.
Siswa mbolosan, berkelahi, pakaian tidak tertib, bukan lagi konselor
yang menegur dan memberi sanksi. Reward dan punishment, pujian dan
hukuman adalah dua hal yang mesti ada bersama-sama. Pemilahan peran
demikian memungkinkan BK optimal dalam banyak hal yang bersifat reward
atau peneguhan. Jika tidak demikian, BK lebih mudah terjebak dalam
tindakan hukum-menghukum.
Mendesak untuk diwujudkan, prinsip keseimbangan dalam pendampingan
orang-orang muda yang masih dalam tahap pencarian diri. Orang-orang muda
di sekolah menengah lazimnya dihadapkan pada celaan, cacian, cercaan,
dan segala sumpah-serapah kemarahan jika membuat kekeliruan. Namun, jika
melakukan hal-hal yang positif atau kebaikan, kering pujian, sanjungan
atau peneguhan. Betapa ketimpangan ini membentuk pribadi-pribadi yang
memiliki gambaran diri negatif belaka. Jika seluruh komponen
kependidikan di sekolah bertindak sebagai yang menghakimi dan memberikan
vonis serta hukuman, maka semakin lengkaplah pembentukan
pribadi-pribadi yang tidak seimbang.
BK dapat diposisikan secara tegas untuk mewujudkan prinsip
keseimbangan. Lembaga ini menjadi tempat yang aman bagi setiap siswa
untuk datang membuka diri tanpa waswas akan privacy-nya. Di sana menjadi
tempat setiap persoalan diadukan, setiap problem dibantu untuk
diuraikan, sekaligus setiap kebanggaan diri diteguhkan. Bahkan orangtua
siswa dapat mengambil manfaat dari pelayanan bimbingan di sekolah,
sejauh mereka dapat ditolong untuk lebih mengerti akan anak mereka.
Tantangan pertama untuk memulai suatu proses pendampingan pribadi
yang ideal justru datang dari faktor-faktor instrinsik sekolah sendiri.
Kepala sekolah kurang tahu apa yang harus mereka perbuat dengan konselor
atau guru-guru BK. Ada kekhawatiran bahwa konselor akan memakan “gaji
buta”. Akibatnya, konselor mesti disampiri tugas-tugas mengajar
keterampilan, sejarah, jaga kantin, mengurus perpustakaan, atau jika
tidak demikian hitungan honor atau penggajiannya terus dipersoalkan
jumlahnya. Sesama staf pengajar pun mengirikannya dengan tugas-tugas
konselor yang dianggapnya penganggur terselubung. Padahal, betapa
pendampingan pribadi menuntut proses administratif dalam penanganannya.
BK yang baru dilirik sebelah mata dalam proses pendidikan tampak dari
ruangan yang disediakan. Bisa dihitung dengan jari, berapa jumlah
sekolah yang mampu (baca: mau!) menyediakan ruang konseling memadai.
Tidak jarang dijumpai, ruang BK sekadar bagian dari perpustakaan (yang
disekat tirai), atau layaknya ruang sempit di pojok dekat gudang dan
toilet. Betapa mendesak untuk dikedepankan peran BK dengan mencoba
menempatkan kembali pada posisi dan perannya yang hakiki. Menaruh
harapan yang lebih besar pada BK dalam pendampingan pribadi, sekarang
ini begitu mendesak, jika mengingat kurikulum dan segala orientasinya
tetap saja menjunjung supremasi otak. Untuk memulai mewujudkan semua
itu, butuh perubahan paradigma para kepala sekolah dan semua pihak yang
terlibat dalam proses kependidikan.
bimbingan konseling
Senin, 25 Juni 2012
Kamis, 21 Juni 2012
psikologi pendidikan
PSIKOLOGI PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
Psikologi pendidikan adalah studi yang
sistematis terhadap proses dan faktor-faktor yang berhubungan dengan
pendidikan. Sedangkan pendidikan adalah proses pertumbuhan yang
berlangsung melalui tindakan-tindakan belajar (Whiterington, 1982:10).
Dari batasan di atas terlihat adanya kaitan yang sangat kuat antara
psikologi pendidikan dengan tindakan belajar. Karena itu, tidak
mengherankan apabila beberapa ahli psikologi pendidikan menyebutkan
bahwa lapangan utama studi psikologi pendidikan adalah soal belajar.
Dengan kata lain, psikologi pendidikan memusatkan perhatian pada
persoalan-persoalan yang berkenaan dengan proses dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan tindakan belajar.
Karena konsentrasinya pada persoalan
belajar, yakni persoalan-persoalan yang senantiasa melekat pada subjek
didik, maka konsumen utama psikologi pendidikan ini pada umumnya adalah
pada pendidik. Mereka memang dituntut untuk menguasai bidang ilmu ini
agar mereka, dalam menjalankan fungsinya, dapat menciptakan
kondisi-kondisi yang memiliki daya dorong yang besar terhadap
berlangsungnya tindakan-tindakan belajar secara efektif.
B. Mendorong Tindakan Belajar
Pada umumnya orang beranggapan bahwa pendidik adalah sosok yang memiliki
sejumlah besar pengetahuan tertentu, dan berkewajiban menyebarluaskannya
kepada orang lain. Demikian juga, subjek didik sering dipersepsikan
sebagai sosok yang bertugas mengkonsumsi informasi-informasi dan
pengetahuan yang disampaikan pendidik. Semakin banyak informasi
pengetahuan yang mereka serap atau simpan semakin baik nilai yang mereka
peroleh, dan akan semakin besar pula pengakuan yag mereka dapatkan
sebagai individu terdidik.
Anggapan-anggapan seperti ini,
meskipun sudah berusia cukup tua, tidak dapat dipertahankan lagi. Fungsi
pendidik menjejalkan informasi pengetahuan sebanyak-banyakya kepada
subjek didik dan fungsi subjek didik menyerap dan mengingat-ingat
keseluruhan informasi itu, semakin tidak relevan lagi mengingat bahwa
pengetahuan itu sendiri adalah sesuatu yang dinamis dan tidak terbatas.
Dengan kata lain, pengetahuan-pengetahuan (yang dalam perasaan dan
pikiran manusia dapat dihimpun) hanya bersifat sementara dan
berubah-ubah, tidak mutlak (Goble, 1987 : 46). Gugus pengetahuan yang
dikuasai dan disebarluaskan saat ini, secara relatif, mungkin hanya
berfungsi untuk saat ini, dan tidak untuk masa lima hingga sepuluh tahun
ke depan. Karena itu, tidak banyak artinya menjejalkan informasi
pengetahuan kepada subjek didik, apalagi bila hal itu terlepas dari
konteks pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Namun demikian bukan berarti fungsi
traidisional pendidik untuk menyebarkan informasi pengetahuan harus
dipupuskan sama sekali. Fungsi ini, dalam batas-batas tertentu, perlu
dipertahankan, tetapi harus dikombinasikan dengan fungsi-fungsi sosial
yang lebih luas, yakni membantu subjek didik untuk memadukan
informasi-informasi yang terpecah-pecah dan tersebar ke dalam satu
falsafah yang utuh. Dengan kata lain dapat diungkapkan bahwa menjadi
seorang pendidik dewasa ini berarti juga menjadi “penengah” di dalam
perjumpaan antara subjek didik dengan himpunan informasi faktual yang
setiap hari mengepung kehidupan mereka.
Sebagai penengah, pendidik harus
mengetahui dimana letak sumber-sumber informasi pengetahuan tertentu dan
mengatur mekanisme perolehannya apabila sewaktu-waktu diperlukan oleh
subjek didik.Dengan perolehan informasi pengetahuan tersebut, pendidik
membantu subjek didik untuk mengembangkan kemampuannya mereaksi dunia
sekitarnya. Pada momentum inilah tindakan belajar dalam pengertian yang
sesungguhya terjadi, yakni ketika subjek didik belajar mengkaji
kemampuannya secara realistis dan menerapkannya untuk mencapai
kebutuhan-kebutuhannya.
Dari deskripsi di atas terlihat bahwa
indikator dari satu tindakan belajar yang berhasil adalah : bila subjek
didik telah mengembangkan kemampuannya sendiri. Lebih jauh lagi, bila
subjek didik berhasil menemukan dirinya sendiri ; menjadi dirinya
sendiri. Faure (1972) menyebutnya sebagai “learning to be”.
Adalah tugas pendidik untuk
menciptakan kondisi yang kondusif bagi berlangsungnya tindakan belajar
secara efektif. Kondisi yang kondusif itu tentu lebih dari sekedar
memberikan penjelasan tentang hal-hal yang termuat di dalam buku teks,
melainkan mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motif-motif dan
membantu subjek didik dalam upaya mereka mencapai tujuan-tujuan yang
diinginkan (Whiteherington, 1982:77). Inilah fungsi motivator,
inspirator dan fasilitator dari seorang pendidik.
C. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Agar fungsi pendidik sebagai
motivator, inspirator dan fasilitator dapat dilakonkan dengan baik, maka
pendidik perlu memahami faktor-faktor yang dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar subjek didik. Faktor-faktor itu lazim dikelompokkan atas
dua bahagian, masing-masing faktor fisiologis dan faktor psikologis (Depdikbud,
1985 :11).
1. Faktor
Fisiologis
Faktor-faktor fisiologis ini mencakup
faktor material pembelajaran, faktor lingkungan, faktor instrumental dan
faktor kondisi individual subjek didik.Material pembelajaran turut
menentukan bagaimana proses dan hasil belajar yang akan dicapai subjek
didik. Karena itu, penting bagi pendidik untuk mempertimbangkan
kesesuaian material pembelajaran dengan tingkat kemampuan subjek didik ;
juga melakukan gradasi material pembelajaran dari tingkat yang paling
sederhana ke tingkat lebih kompeks.
Faktor lingkungan, yang meliputi
lingkungan alam dan lingkungan sosial, juga perlu mendapat perhatian.
Belajar dalam kondisi alam yang segar selalu lebih efektif dari pada
sebaliknya. Demikian pula, belajar padapagi hari selalu memberikan hasil
yang lebih baik dari pada sore hari. Sementara itu, lingkungan sosial
yang hiruk pikuk, terlalu ramai, juga kurang kondisif bagi proses dan
pencapaian hasil belajar yang optimal.
Yang tak kalah pentingnya untuk
dipahami adalah faktor-faktor instrumental, baik yang tergolong
perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software).
Perangkat keras seperti perlangkapan belajar, alat praktikum, buku teks
dan sebagainya sangat berperan sebagai sarana pencapaian tujuan belajar.
Karenanya, pendidik harus memahami dan mampu mendayagunakan
faktor-faktor instrumental ini seoptimal mungkin demi efektifitas
pencapaian tujuan-tujuan belajar.
Faktor fisiologis lainnya yang
berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar adalah kondisi individual
subjek didik sendiri. Termasuk ke dalam faktor ini adalah kesegaran
jasmani dan kesehatan indra. Subjek didik yang berada dalam kondisi
jasmani yang kurang segar tidak akan memiliki kesiapan yang memadai
untuk memulai tindakan belajar.
2. Faktor
Psikologis
Faktor-faktor
psikologis yang berpengaruh terhadap proses dan hasil belajar
jumlahnya banyak sekali, dan masing-masingnya tidak
dapat dibahas secara
terpisah.
Perilaku individu, termasuk perilaku
belajar, merupakan totalitas penghayatan dan aktivitas yang lahir
sebagai hasil akhir saling pengaruh antara berbagai gejala, seperti
perhatian, pengamatan, ingatan, pikiran dan motif.
2.1.
Perhatian
Tentulah dapat diterima bahwa subjek
didik yang memberikan perhatian intensif dalam belajar akan memetik
hasil yang lebih baik. Perhatian intensif ditandai oleh besarnya
kesadaran yang menyertai aktivitas belajar. Perhatian intensif subjek
didik ini dapat dieksloatasi sedemikian rupa melalui strategi
pembelajaran tertentu, seperti menyediakan material pembelajaran yang
sesuai dengan kebutuhan subjek didik, menyajikan material pembelajaran
dengan teknik-teknik yang bervariasi dan kreatif, seperti bermain peran
(role playing), debat dan sebagainya.
Strategi pemebelajaran seperti ini
juga dapat memancing perhatian yang spontan dari subjek didik. Perhatian
yang spontan dimaksudkan adalah perhatian yang tidak disengaja, alamiah,
yang muncul dari dorongan-dorongan instingtif untuk mengetahui sesuatu,
seperti kecendrungan untuk mengetahui apa yang terjadi di sebalik
keributan di samping rumah, dan lain-lain. Beberapa hasil penelitian
psikologi menunjukkan bahwa perhatian spontan cendrung menghasilkan
ingatan yang lebih lama dan intensif dari pada perhatian yang disengaja.
2.2.
Pengamatan
Pengamatan adalah cara pengenalan
dunia oleh subjek didik melalui penglihatan, pendengaran, perabaan,
pembauan dan pengecapan. Pengamatan merupakan gerbang bai masuknya
pengaruh dari luar ke dalam individu subjek didik, dan karena itu
pengamatan penting artinya bagi pembelajaran.
Untuk kepentingan pengaturan proses
pembelajaran, para pendidik perlu memahami keseluruhan modalitas
pengamatan tersebut, dan menetapkan secara analitis manakah di antara
unsur-unsur modalitas pengamatan itu yang paling dominan peranannya
dalam proses belajar. Kalangan psikologi tampaknya menyepakati bahwa
unsur lainnya dalam proses belajar. Dengan kata lain, perolehan
informasi pengetahuan oleh subjek didik lebih banyak dilakukan melalui
penglihatan dan pendengaran.
Jika demikian, para pendidik perlu
mempertimbangkan penampilan alat-alat peraga di dalam penyajian material
pembelajaran yang dapat merangsang optimalisasi daya penglihatan dan
pendengaran subjek didik. Alat peraga yang dapat digunakan, umpamanya ;
bagan, chart, rekaman, slide dan sebagainya.
2.3.
Ingatan
Secara teoritis, ada 3 aspek yang
berkaitan dengan berfungsinya ingatan, yakni (1) menerima kesan, (2)
menyimpan kesan, dan (3) memproduksi kesan. Mungkin karena fungsi-fungsi
inilah, istilah “ingatan” selalu didefinisikan sebagai kecakapan untuk
menerima, menyimpan dan mereproduksi kesan.
Kecakapan merima kesan sangat sentral
peranannya dalam belajar. Melalui kecakapan inilah, subjek didik mampu
mengingat hal-hal yang dipelajarinya.
Dalam konteks pembelajaran, kecakapan
ini dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya teknik
pembelajaran yang digunakan pendidik. Teknik pembelajaran yang disertai
dengan penampilan bagan, ikhtisar dan sebagainya kesannya akan lebih
dalam pada subjek didik. Di samping itu, pengembangan teknik
pembelajaran yang mendayagunakan “titian ingatan” juga lebih mengesankan
bagi subjek didik, terutama untuk material pembelajaran berupa
rumus-rumus atau urutan-urutan lambang tertentu. Contoh kasus yang
menarik adalah mengingat nama-nama kunci nada g (gudeg), d (dan), a (ayam),
b (bebek) dan sebagainya.
Hal lain dari ingatan adalah kemampuan
menyimpan kesan atau mengingat. Kemampuan ini tidak sama kualitasnya
pada setiap subjek didik. Namun demikian, ada hal yang umum terjadi pada
siapapun juga : bahwa segera setelah seseorang selesai melakukan
tindakan belajar, proses melupakan akan terjadi. Hal-hal yang dilupakan
pada awalnya berakumulasi dengan cepat, lalu kemudian berlangsung
semakin lamban, dan akhirnya sebagian hal akan tersisa dan tersimpan
dalam ingatan untuk waktu yang relatif lama.
Untuk mencapai proporsi yang memadai
untuk diingat, menurut kalangan psikolog pendidikan, subjek didik harus
mengulang-ulang hal yang dipelajari dalam jangka waktu yang tidak
terlalu lama. Implikasi pandangan ini dalam proses pembelajaran
sedemikian rupa sehingga memungkinkan bagi subjek didik untuk mengulang
atau mengingat kembali material pembelajaran yang telah dipelajarinya.
Hal ini, misalnya, dapat dilakukan melalui pemberian tes setelah satu
submaterial pembelajaran selesai.
Kemampuan resroduksi, yakni
pengaktifan atau prosesproduksi ulang hal-hal yang telah dipelajari,
tidak kalah menariknya untuk diperhatikan. Bagaimanapun, hal-hal yang
telah dipelajari, suatu saat, harus diproduksi untuk memenuhi kebutuhan
tertentu subjek didik, misalnya kebutuhan untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan dalam ujian ; atau untuk merespons
tantangan-tangan dunia sekitar.
Pendidik dapat mempertajam kemampuan
subjek didik dalam hal ini melalui pemberian tugas-tugas mengikhtisarkan
material pembelajaran yang telah diberikan.
2.4.
Berfikir
Definisi yang paling umum dari
berfikir adalah berkembangnya ide dan konsep (Bochenski, dalam
Suriasumantri (ed), 1983:52) di dalam diri seseorang. Perkembangan ide
dan konsep ini berlangsung melalui proses penjalinan hubungan antara
bagian-bagian informasi yang tersimpan di dalam didi seseorang yang
berupa pengertian-perngertian. Dari gambaran ini dapat dilihat bahwa
berfikir pada dasarnya adalah proses psikologis dengan tahapan-tahapan
berikut : (1) pembentukan pengertian, (2) penjalinan
pengertian-pengertian, dan (3) penarikan kesimpulan.
Kemampuan berfikir pada manusia
alamiah sifatnya. Manusia yang lahir dalam keadaan normal akan dengan
sendirinya memiliki kemampuan ini dengan tingkat yang reletif berbeda.
Jika demikian, yang perlu diupayakan dalam proses pembelajaran adalah
mengembangkan kemampuan ini, dan bukannya melemahkannya. Para pendidik
yang memiliki kecendrungan untuk memberikan penjelasan yang
“selengkapnya” tentang satu material pembelajaran akan cendrung
melemahkan kemampuan subjek didik untuk berfikir. Sebaliknya, para
pendidik yang lebih memusatkan pembelajarannya pada pemberian
pengertian-pengertian atau konsep-konsep kunci yang fungsional akan
mendorong subjek didiknya mengembangkan kemampuan berfikir mereka.
Pembelajaran seperti ni akan menghadirkan tentangan psikologi bagi
subjek didik untuk merumuskan kesimpulan-kesimpulannya secara mandiri.
2.5.
Motif
Motif adalah keadaan dalam diri subjek
didik yang mendorongnya untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu.
Motif boleh jadi timbul dari rangsangan luar, seperti pemberian hadiah
bila seseorang dapat menyelesaikan satu tugas dengan baik. Motif semacam
ini sering disebut motif ekstrensik. Tetapi tidak jarang pula motif
tumbuh di dalam diri subjek didik sendiri yang disebut motif intrinsik.
Misalnya, seorang subjek didik gemar membaca karena dia memang ingin
mengetahui lebih dalam tentang sesuatu.
Dalam konteks belajar, motif intrinsik
tentu selalu lebih baik, dan biasanya berjangka panjang. Tetapi dalam
keadaan motif intrinsik tidak cukup potensial pada subjek didik,
pendidik perlu menyiasati hadirnya motif-motif ekstrinsik. Motif ini,
umpamanya, bisa dihadirkan melalui penciptaan suasana kompetitif di
antara individu maupun kelompok subjek didik. Suasana ini akan mendorong
subjek didik untuk berjuang atau berlomba melebihi yang lain.Namun
demikian, pendidik harus memonitor suasana ini secara ketat agar tidak
mengarah kepada hal-hal yang negatif.
Motif ekstrinsik bisa juga dihadirkan
melalui siasat “self competition”, yakni menghadirkan grafik
prestasi individual subjek didik.Melalui grafik ini, setiap subjek didik
dapat melihat kemajuan-kemajuannya sendiri. Dan sekaligus
membandingkannya dengan kemajuan yang dicapai teman-temannya.Dengan
melihat grafik ini, subjek didik akan terdorong untuk meningkatkan
prestasinya supaya tidak berada di bawah prestasi orang lain.
Langganan:
Postingan (Atom)